ROSE
by bangmarkotop
by bangmarkotop
GHi / GDragon - LeeHi
PG13+
Supernatural, AU, Romance, Fluff (?)
PG13+
Supernatural, AU, Romance, Fluff (?)
Hayi takut orang yang mencintainya akan merasa sakit karenanya. Dan Jiyong bukanlah orang yang takut akan rasa sakit.
__________
“Jangan dekati aku!”
Hayi panik. Ia berjalan mundur hingga ia tidak sadar, punggungnya telah beradu dengan tembok. Pandangannya mulai kabur, terhalang oleh air mata yang perlahan mulai menggenang di matanya. Tangannya gemetar, ia menggigit bibir bawahnya.
“Hayi! Tenangla—”
“Diam! Jangan mendekat!” serunya lagi. Air matanya sudah mulai tumpah, membasahi kedua pipinya. Air matanya mengalir semakin deras ketika ia melihat tetesan-tetesan darah yang mengalir dari kedua tangan pria di depannya.
Tanpa sadar ia telah menggunakan kekuatannya untuk mengeluarkan alur tumbuhan berduri untuk melindungi dirinya sendiri.
Dan durinya telah melukai pria itu.
“Maafkan aku, Jiyong oppa.” katanya sambil terisak.
Jiyong meringis kesakitan. Tangannya penuh dengan darah. Duri-duri yang dikeluarkan oleh Hayi melukai tangannya.
Para pria bersenjata di belakang Jiyong mulai mengarahkan senjatanya ke arah Hayi setelah melihat Jiyong terluka karena duri Hayi.
“Tahan senjata kalian.” kata Jiyong. Ia memegangi tangan kanannya yang sakit dan mulai menatap Hayi yang semakin terisak. Jiyong melangkah pelan menghampiri Hayi. “Kemarilah, Hayi-ah.” katanya lagi sambil mengulurkan tangan kirinya.
“Tidak! Jangan dekati aku!” seru Hayi. Warna matanya berubah. Matanya yang semula berwarna biru dengan garis putih berubah menjadi ungu menyala.
Kali ini, bukan hanya alur berduri yang muncul.
Ratusan bunga mawar berduri muncul di atas Jiyong. Kelopak-kelopak bunga mawar merah berterbangan di sekitar Hayi.
“Kumohon, Oppa... Jangan dekati aku atau kau akan semakin terluka karena duri-duri ini...” Hayi kembali terisak.
Jiyong melangkah pelan menuju Hayi.
“Jangan me—”
“Aku tidak peduli!” seru Jiyong.
Hayi terdiam. Ia menatap Jiyong dengan tajam. Air matanya masih terus mengalir. Ia semakin gemetar melihat Jiyong, takut kalau ia akan melukai Jiyong lebih parah lagi.
“Aku tidak peduli, Hayi. Aku akan tetap menghampirimu meski duri-duri ini mencabik-cabik tubuhku.”
“Tapi aku ini monster, Oppa! Kau tidak melihatnya?! Bunga-bunga mawar dan alur berduri ini muncul karenaku!”
“Aku tidak peduli.” Jiyong menatap Hayi dengan tajam. “Aku hanya ingin bersamamu, Lee Hayi.” Jiyong kembali melangkah maju dengan perlahan. Namun duri-duri Hayi kembali melukainya. Ia meringis kesakitan, tapi ia terus melangkah mendekati Hayi yang sudah semakin terdesak oleh Jiyong dan pasukan bersenjata yang sejak dari tadi mengikutinya.
Tiba-tiba salah satu dari bunga mawar di atas Jiyong mulai meluncur ke arahnya. Sebuah luka besar tergores di lengannya.
Darah segar mengalir dari tangannya.
Jiyong berhenti. Ia menutup matanya dan menghela nafasnya. Anak buahnya mulai menembaki Hayi.
“Jangan tembak!” kata Jiyong. Ia berbalik dan menatap pasukannya. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan marah. Pasukannya mulai mundur perlahan dan menurunkan senjatanya. Setelah yakin bahwa pasukannya tidak akan menembak Hayi lagi, ia mulai berbalik dan menatap Hayi yang tengah berjongkok sambil mencoba melindungi dirinya dari peluru-peluru yang ditujukan olehnya dengan kedua tangannya.
Hayi terlihat begitu ketakutan.
“Tenang, Hayi-ah. Mereka tidak akan menyakitimu lagi.” kata Jiyong sambil kembali mengulurkan tangannya ke arah Hayi.
Hayi perlahan membuka matanya dan menatap Jiyong. Ia menggelengkan kepalanya dengan kencang.
“Tidak...” katanya lirih. “Aku menyakitimu lagi, Oppa...”
“Sudah kubilang aku tidak apa-apa, Hayi. Kemarilah...”
“Tidak... Menjauhlah dariku...” Ranting-ranting berduri berwarna merah mulai muncul dari bawah kaki Hayi. Duri-duri di sekitar Jiyong juga mulai melebat.
Dan pasukan Jiyong kembali tidak mendengarkan perintah Jiyong. Mereka kembali menembaki Hayi dengan senjatanya untuk mengusir duri-duri Hayi dari Jiyong.
“BERHENTI, KALIAN SEMUA!!”
Kemarahan Jiyong memuncak.
Dalam sekejap, rambut pirang Jiyong berubah warna menjadi merah menyala dan matanya yang berwarna cokelat madu berubah menjadi biru muda. Dari tangannya keluar api yang membakar semua alur duri dari Hayi.
Ruangan itu telah berubah menjadi lautan api.
Jiyong terlihat sedang berusaha mengatur nafasnya dan meredakan amarahnya. Dada bidangnya naik turun. Api di kedua tangannya mulai meredup, tapi rambut dan matanya masih berbeda dari biasanya.
Ia berbalik dan menatap Hayi.
“Kau lihat? Kau bukan satu-satunya ‘monster’ disini.” kata Jiyong sambil tersenyum pahit. Ia mengulurkan tangannya lagi pada Hayi dan menghampirinya. “Tidak ada apa-apa, Hayi-ah.”
Hayi masih terdiam menatap Jiyong. Tapi perlahan, tangannya mulai menyambut uluran tangan dari Jiyong. Jiyong tersenyum. Hayi mencoba untuk berdiri dan Jiyong membantunya. Ia terus menggenggam tangan Hayi dengan erat. Jiyong mencium kening Hayi dengan lembut dan kembali tersenyum.
Hayi menatapnya. Tapi tak lama kemudian, pandangan Hayi mulai memburam dan kelopak matanya semakin lama dirasanya semakin berat.
Hayi tidak sadarkan diri.
* * *
Hayi membuka matanya perlahan dan memandang ke sekelilingnya.
Putih.
Ia berada di ruangan serba putih. Tapi ia tahu bahwa ruangan yang ia tempati bukanlah rumah sakit karena ada beberapa barang yang rumah sakit tidak miliki, seperti lemari baju dan kaca yang tergantung di dinding.
Belum hilang rasa kebingungan Hayi, sebuah pintu dibuka dan Jiyong muncul dari balik pintu itu sambil membawa nampan berisi makanan.
“Ah, kau sudah bangun?” kata Jiyong sambil meletakkan nampan itu di meja. Ia lalu duduk di samping Hayi dan mencium dahinya.
“Sudah merasa baik?” tanyanya. Hayi hanya mengangguk kecil lalu kembali memandang sekelilingnya. Jiyong tertawa kecil.
“Ini kamarku.” katanya, seolah tahu apa yang ada di pikiran Hayi saat ini. Hayi menatapnya bingung. “Sudahlah. Lebih baik mau makan dulu. Perutmu pasti lapar setelah tertidur selama 2 hari.”
“Dua... hari?” tanya Hayi sambil mengerutkan alisnya, tidak percaya kalau ia telah tertidur selama itu.
Jiyong mengangguk sambil tersenyum. Ia lalu meraih mangkuk berisi bubur yang dibawanya bersama nampan tadi. Ia menyendoknya dan mulai menyuapi Hayi. Tapi hayi masih menutup mulutnya. Pandangannya tertuju pada lengan dan jari-jari Jiyong yang terbalut dengan perban. Jiyong menyadarinya.
“Tidak usah kau pikirkan. Ini akan segera sembuh.” kata Jiyong. Kedua ujung bibirnya kembali terangkat.
Dan dengan tiba-tiba, Hayi memeluk Jiyong. Jiyong yang kaget langsung refleks mengangkat kedua tangannya, menjaga agar bubur buatannya untuk Hayi itu tidak tumpah.
“Maaf.” kata Hayi singkat.
Jiyong tersenyum. Ia mengelus rambut Hayi dengan pelan.
“Sudah kubilang tidak apa-apa, Hayi-ah.” Jiyong mendorong tubuh Hayi dengan pelan. Hayi menatapnya. “Sekarang makanlah. Biar aku suapi.”
“Yang kemarin itu apa?” tanya Hayi pada Jiyong. Sekarang giliran Jiyong yang mengerutkan alisnya. Ia berpikir sejenak, mencoba memahami apa maksud pertanyaan Hayi.
“Ah... Soal itu...” Hayi memiringkan kepalanya ke kanan. Alisnya juga ikut berkerut.
“Akan ku jelaskan nanti. Sekarang, makan dulu!”
Hayi menggeleng. Ia mengerucutkan bibirnya.
“Sekarang.”
Jiyong menghela nafasnya.
“Panjang ceritanya. Intinya, kau dan aku sekarang sama. Kita ini bukanlah manusia biasa. Kita punya kekuatan yang berbeda. Kau mawar dan aku api.” kata Jiyong.
“Hanya kau dan aku?”
“Tidak. Masih banyak yang lain, Hayi-ah. Tidak usah khawatir. Pada awalnya memang kau akan benar-benar kaget dengan kekuatanmu yang keluar dengan tiba-tiba itu. Tapi aku yakin, kau akan cepat terbiasa dengannya. Lama-lama kau akan bisa mengendalikan kekuatanmu. Kau bisa menggunakannya kapanpun kau mau. Kelak kau akan bisa membantu orang lain dengan kekuatanmu itu.” kata Jiyong sambil tersenyum.
Hayi terdiam.
“Sekarang waktunya makan. Tidak ada alasan lain!” Jiyong menyendok buburnya dan mencoba untuk menyuapi Hayi lagi.
Dan kali ini Hayi tidak bertanya apapun lagi. Ia melahap bubur buatan Jiyong.
“Kau yang membuatnya, Oppa?” tanya Hayi tak percaya.
“Yup. Bagaimana? Enak?”
“Asin.” kata Hayi. Jiyong tertegun melihatnya. Bukan karena buburnya yang asin bagi lidah Hayi. Tapi karena hal lain yang lebih mengejutkan dari itu.
Hayi tersenyum.
Jiyong mengacak rambut Hayi sambil tertawa kecil.
“Biar aku buatkan yang lain.” kata Jiyong sambil beranjak dari tempat tidur. Tapi kemudian tangan Hayi menangkap lengan kanannya.
“Aku bohong, kok. Rasanya benar-benar enak.” kata Hayi lagi.
Jiyong mengerucutkan bibirnya. Hayi mulai tertawa kecil melihatnya.
“Yasudah cepat habiskan!” kata Jiyong sambil menyodorkan mangkuk bubur dan sendongknya pada Hayi. Hayi menggeleng kencang.
“Suapi aku!”
“Yah! Memang aku ini baby sitter-mu?!”
END.
___________
“Jangan dekati aku!”
Hayi panik. Ia berjalan mundur hingga ia tidak sadar, punggungnya telah beradu dengan tembok. Pandangannya mulai kabur, terhalang oleh air mata yang perlahan mulai menggenang di matanya. Tangannya gemetar, ia menggigit bibir bawahnya.
“Hayi! Tenangla—”
“Diam! Jangan mendekat!” serunya lagi. Air matanya sudah mulai tumpah, membasahi kedua pipinya. Air matanya mengalir semakin deras ketika ia melihat tetesan-tetesan darah yang mengalir dari kedua tangan pria di depannya.
Tanpa sadar ia telah menggunakan kekuatannya untuk mengeluarkan alur tumbuhan berduri untuk melindungi dirinya sendiri.
Dan durinya telah melukai pria itu.
“Maafkan aku, Jiyong oppa.” katanya sambil terisak.
Jiyong meringis kesakitan. Tangannya penuh dengan darah. Duri-duri yang dikeluarkan oleh Hayi melukai tangannya.
Para pria bersenjata di belakang Jiyong mulai mengarahkan senjatanya ke arah Hayi setelah melihat Jiyong terluka karena duri Hayi.
“Tahan senjata kalian.” kata Jiyong. Ia memegangi tangan kanannya yang sakit dan mulai menatap Hayi yang semakin terisak. Jiyong melangkah pelan menghampiri Hayi. “Kemarilah, Hayi-ah.” katanya lagi sambil mengulurkan tangan kirinya.
“Tidak! Jangan dekati aku!” seru Hayi. Warna matanya berubah. Matanya yang semula berwarna biru dengan garis putih berubah menjadi ungu menyala.
Kali ini, bukan hanya alur berduri yang muncul.
Ratusan bunga mawar berduri muncul di atas Jiyong. Kelopak-kelopak bunga mawar merah berterbangan di sekitar Hayi.
“Kumohon, Oppa... Jangan dekati aku atau kau akan semakin terluka karena duri-duri ini...” Hayi kembali terisak.
Jiyong melangkah pelan menuju Hayi.
“Jangan me—”
“Aku tidak peduli!” seru Jiyong.
Hayi terdiam. Ia menatap Jiyong dengan tajam. Air matanya masih terus mengalir. Ia semakin gemetar melihat Jiyong, takut kalau ia akan melukai Jiyong lebih parah lagi.
“Aku tidak peduli, Hayi. Aku akan tetap menghampirimu meski duri-duri ini mencabik-cabik tubuhku.”
“Tapi aku ini monster, Oppa! Kau tidak melihatnya?! Bunga-bunga mawar dan alur berduri ini muncul karenaku!”
“Aku tidak peduli.” Jiyong menatap Hayi dengan tajam. “Aku hanya ingin bersamamu, Lee Hayi.” Jiyong kembali melangkah maju dengan perlahan. Namun duri-duri Hayi kembali melukainya. Ia meringis kesakitan, tapi ia terus melangkah mendekati Hayi yang sudah semakin terdesak oleh Jiyong dan pasukan bersenjata yang sejak dari tadi mengikutinya.
Tiba-tiba salah satu dari bunga mawar di atas Jiyong mulai meluncur ke arahnya. Sebuah luka besar tergores di lengannya.
Darah segar mengalir dari tangannya.
Jiyong berhenti. Ia menutup matanya dan menghela nafasnya. Anak buahnya mulai menembaki Hayi.
“Jangan tembak!” kata Jiyong. Ia berbalik dan menatap pasukannya. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan marah. Pasukannya mulai mundur perlahan dan menurunkan senjatanya. Setelah yakin bahwa pasukannya tidak akan menembak Hayi lagi, ia mulai berbalik dan menatap Hayi yang tengah berjongkok sambil mencoba melindungi dirinya dari peluru-peluru yang ditujukan olehnya dengan kedua tangannya.
Hayi terlihat begitu ketakutan.
“Tenang, Hayi-ah. Mereka tidak akan menyakitimu lagi.” kata Jiyong sambil kembali mengulurkan tangannya ke arah Hayi.
Hayi perlahan membuka matanya dan menatap Jiyong. Ia menggelengkan kepalanya dengan kencang.
“Tidak...” katanya lirih. “Aku menyakitimu lagi, Oppa...”
“Sudah kubilang aku tidak apa-apa, Hayi. Kemarilah...”
“Tidak... Menjauhlah dariku...” Ranting-ranting berduri berwarna merah mulai muncul dari bawah kaki Hayi. Duri-duri di sekitar Jiyong juga mulai melebat.
Dan pasukan Jiyong kembali tidak mendengarkan perintah Jiyong. Mereka kembali menembaki Hayi dengan senjatanya untuk mengusir duri-duri Hayi dari Jiyong.
“BERHENTI, KALIAN SEMUA!!”
Kemarahan Jiyong memuncak.
Dalam sekejap, rambut pirang Jiyong berubah warna menjadi merah menyala dan matanya yang berwarna cokelat madu berubah menjadi biru muda. Dari tangannya keluar api yang membakar semua alur duri dari Hayi.
Ruangan itu telah berubah menjadi lautan api.
Jiyong terlihat sedang berusaha mengatur nafasnya dan meredakan amarahnya. Dada bidangnya naik turun. Api di kedua tangannya mulai meredup, tapi rambut dan matanya masih berbeda dari biasanya.
Ia berbalik dan menatap Hayi.
“Kau lihat? Kau bukan satu-satunya ‘monster’ disini.” kata Jiyong sambil tersenyum pahit. Ia mengulurkan tangannya lagi pada Hayi dan menghampirinya. “Tidak ada apa-apa, Hayi-ah.”
Hayi masih terdiam menatap Jiyong. Tapi perlahan, tangannya mulai menyambut uluran tangan dari Jiyong. Jiyong tersenyum. Hayi mencoba untuk berdiri dan Jiyong membantunya. Ia terus menggenggam tangan Hayi dengan erat. Jiyong mencium kening Hayi dengan lembut dan kembali tersenyum.
Hayi menatapnya. Tapi tak lama kemudian, pandangan Hayi mulai memburam dan kelopak matanya semakin lama dirasanya semakin berat.
Hayi tidak sadarkan diri.
* * *
Hayi membuka matanya perlahan dan memandang ke sekelilingnya.
Putih.
Ia berada di ruangan serba putih. Tapi ia tahu bahwa ruangan yang ia tempati bukanlah rumah sakit karena ada beberapa barang yang rumah sakit tidak miliki, seperti lemari baju dan kaca yang tergantung di dinding.
Belum hilang rasa kebingungan Hayi, sebuah pintu dibuka dan Jiyong muncul dari balik pintu itu sambil membawa nampan berisi makanan.
“Ah, kau sudah bangun?” kata Jiyong sambil meletakkan nampan itu di meja. Ia lalu duduk di samping Hayi dan mencium dahinya.
“Sudah merasa baik?” tanyanya. Hayi hanya mengangguk kecil lalu kembali memandang sekelilingnya. Jiyong tertawa kecil.
“Ini kamarku.” katanya, seolah tahu apa yang ada di pikiran Hayi saat ini. Hayi menatapnya bingung. “Sudahlah. Lebih baik mau makan dulu. Perutmu pasti lapar setelah tertidur selama 2 hari.”
“Dua... hari?” tanya Hayi sambil mengerutkan alisnya, tidak percaya kalau ia telah tertidur selama itu.
Jiyong mengangguk sambil tersenyum. Ia lalu meraih mangkuk berisi bubur yang dibawanya bersama nampan tadi. Ia menyendoknya dan mulai menyuapi Hayi. Tapi hayi masih menutup mulutnya. Pandangannya tertuju pada lengan dan jari-jari Jiyong yang terbalut dengan perban. Jiyong menyadarinya.
“Tidak usah kau pikirkan. Ini akan segera sembuh.” kata Jiyong. Kedua ujung bibirnya kembali terangkat.
Dan dengan tiba-tiba, Hayi memeluk Jiyong. Jiyong yang kaget langsung refleks mengangkat kedua tangannya, menjaga agar bubur buatannya untuk Hayi itu tidak tumpah.
“Maaf.” kata Hayi singkat.
Jiyong tersenyum. Ia mengelus rambut Hayi dengan pelan.
“Sudah kubilang tidak apa-apa, Hayi-ah.” Jiyong mendorong tubuh Hayi dengan pelan. Hayi menatapnya. “Sekarang makanlah. Biar aku suapi.”
“Yang kemarin itu apa?” tanya Hayi pada Jiyong. Sekarang giliran Jiyong yang mengerutkan alisnya. Ia berpikir sejenak, mencoba memahami apa maksud pertanyaan Hayi.
“Ah... Soal itu...” Hayi memiringkan kepalanya ke kanan. Alisnya juga ikut berkerut.
“Akan ku jelaskan nanti. Sekarang, makan dulu!”
Hayi menggeleng. Ia mengerucutkan bibirnya.
“Sekarang.”
Jiyong menghela nafasnya.
“Panjang ceritanya. Intinya, kau dan aku sekarang sama. Kita ini bukanlah manusia biasa. Kita punya kekuatan yang berbeda. Kau mawar dan aku api.” kata Jiyong.
“Hanya kau dan aku?”
“Tidak. Masih banyak yang lain, Hayi-ah. Tidak usah khawatir. Pada awalnya memang kau akan benar-benar kaget dengan kekuatanmu yang keluar dengan tiba-tiba itu. Tapi aku yakin, kau akan cepat terbiasa dengannya. Lama-lama kau akan bisa mengendalikan kekuatanmu. Kau bisa menggunakannya kapanpun kau mau. Kelak kau akan bisa membantu orang lain dengan kekuatanmu itu.” kata Jiyong sambil tersenyum.
Hayi terdiam.
“Sekarang waktunya makan. Tidak ada alasan lain!” Jiyong menyendok buburnya dan mencoba untuk menyuapi Hayi lagi.
Dan kali ini Hayi tidak bertanya apapun lagi. Ia melahap bubur buatan Jiyong.
“Kau yang membuatnya, Oppa?” tanya Hayi tak percaya.
“Yup. Bagaimana? Enak?”
“Asin.” kata Hayi. Jiyong tertegun melihatnya. Bukan karena buburnya yang asin bagi lidah Hayi. Tapi karena hal lain yang lebih mengejutkan dari itu.
Hayi tersenyum.
Jiyong mengacak rambut Hayi sambil tertawa kecil.
“Biar aku buatkan yang lain.” kata Jiyong sambil beranjak dari tempat tidur. Tapi kemudian tangan Hayi menangkap lengan kanannya.
“Aku bohong, kok. Rasanya benar-benar enak.” kata Hayi lagi.
Jiyong mengerucutkan bibirnya. Hayi mulai tertawa kecil melihatnya.
“Yasudah cepat habiskan!” kata Jiyong sambil menyodorkan mangkuk bubur dan sendongknya pada Hayi. Hayi menggeleng kencang.
“Suapi aku!”
“Yah! Memang aku ini baby sitter-mu?!”
END.
___________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Comment! :3 Your comment means A LOT to me :D